MEETING PROFESOR “ISLAM WASATHIYYAH dan TANTANGAN MAHASISWA PASCASARJANA DI ERA MILLENIAL”

Blog Single

Kegiatan Metting Professor ini buka langsung oleh Rektor IAIN Kudus Dr. H. Mudzakir, M.Ag. dan di moderatori oleh Dr. H. Abdurrohman Kasdi, Lc., M.Si. (Direktur Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Kudus). Adapun narasumber dalam kegiatan Metting Professor adalah Prof. Masdar Hilmy, S.Ag., MA., Ph.D. (Rektor Universitas Islam Negeri Surabaya). Narasumber menyampaikan bahwa 

Islam Wasathiyyah menjadi sebuah isu penting dilatarbelakangi oleh kasus-kasus kekerasan atas nama agama (bom bunuh diri di Surabaya 2018, bom Srilanka 2019); Ujaran kebencian dan hoaks di media social, fanatisme, ajaran takfiri dan salafi-wahabi; Friksi dan pembelahan social di masyarakat; politik identitas yang semakin mengeras. Kemudian muncul pertanyaan, “Jika kasus-kasus di atas bereskalasi menjadi konflik keras, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan?”

Pengertian Islam Wasathiyyah adalah menghindari dua ekstreme dalam beragama (Ghuluw/mutatharrif), tidak hanya A tetapi juga sekaligus B. Basis teologis Islam Wasathiyyah adalah ayat-ayat Alqur’an: QS Al-Baqarah: 143 dan hadist Nabi: “Khayr al-umur awsatuha”. Basis Ideologis Islam Wasathiyyah antara lain: Sunni/Aswaja (Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah), Tawassuth, tawazun, I’tidal/Ta’adul, Wasathiyah dalam aqidah memiliki pengertian antara atheisme dan politeisme, antara wahyu dan akal, Wasathiyyah dalam Syari’ah memiliki pengertian antara ketuhanan dan kemanusiaan, antara tekstual dan kontekstual, antara yang tetap dan berubah, Wasathiyyah dalam akhlaq/tasawuf memiliki pengertian antara yang eksoterisme dan esoterisme dan antara hakikat dan ma’rifat, antara lahir dan batin.

Basis sosiologis Islam Wasathiyyah adalah mengapresiasi keragaman sebagai takdir Allah SWT, hidayah menjadi hak prerogative Allah SWT, Berdakwah secara bertahap melalui hikmah (nilai-nilai budaya/kearifan local), tidak membentuk segregasi social di masyarakat, dan menghormati sang “liyan” karena nilai-nilai kemanusiaannya.

Penerapan Islam Wasathiyyah ini bisa digunakan untuk menjawab tantangan di era digital/millennial diantaranya: membuncahnya arus informasi di ruang public melalui medsos, kecenderungan manusia mencari cara-cara instan dalam belajar agama/mengabaikan peran guru, berita bohong yang diulang-ulang bisa menjadi “kebenaran” di era post-truth, knowledge acquisition melalui kenyamanan psikologisnya, bukan akal sehatnya (hasil ijtihad); moderasi membutuhkan narasi yang mendalam dan panjang.

Tantangan bagi mahasiswa pascasarjana menghadapi masalah seperti ini di era millennial adalah beragama menggunakan akal sehat, agama dibaca secara komprehensif (nalar bayani, burhani dan irfani), agama dipahami secara kritis-interdisipliner, argumentasi secara logis-apriori dan juga empiris-aposteriori, menekankan pada aspek “produksi” agama daripada “resepsi” beragama agar kehadirannya benar-benar bermakna dan bermanfaat bagi kehidupan ummat. Tandas Prof. Masdar.

Share this Post1: