Meeting Professor “Agama, Media dan Imajinasi: Tinjauan Sufisme dan Ilmu Sosial Kontemporerâ€
Untuk kali kedua dalam tahun 2019, Pascasarjana IAIN Kudus menyelenggarakan kegiatan Meeting Professor “Agama, Media dan Imajinasi: Tinjauan Sufisme dan Ilmu Sosial Kontemporer” . Pada kesempatan kali ini, sebagai narasumber yaitu Prof. Dr. Mujiburrohman Al-Banjari, M.A (Rektor UIN Antasari Banjarmasin) menyampaikan beberapa hal, diantaranya terkait studi tentang media dan agama menunjukkan betapa kompleks kajian-kajian tersebut. Berbagai teori dan pendekatan mungkin dapat membantu menjelaskan satu aspek penting dari kenyataan yang dikaji, namun jelas tidak bisa mengklaim bahwa kajian tersebut benar-benar tuntas dan menyeluruh. Teori tentang dunia yang diimajinasi, ruang publik, komodifikasi agama hingga mimpi dan imajinasi, semuanya memberi pemahaman yang memadai tentang hubungan agama dan media, tetapi tak satu pun yang bisa dianggap benar-benar komprehensif.
Belum lagi kalau kita membandingkan teori-teori ilmu sosial tersebut dengan doktrin Sufisme mengenai mimpi dan alam imajinal. Keduanya jelas berbeda, namun tetap memiliki kemiripan. Kemiripan yang kentara adalah anggapan bahwa alam imajinal, seperti halnya teknologi media, adalah perantara, yang hadir sekaligus absen. Karena itu, boleh jadi teknologi media modern dapat membantu mendekatkan pemahaman kita terhadap ajaran-ajaran tertentu dari agama. Misalnya, dunia yang dilipat di flash disc, mungkin mirip maksudnya dengan Tuhan menggulung langit yang luas seperti mengulung kertas di hari kiamat kelak (QS 21: 104). Dengan adanya teknologi CCTV, kita mungkin lebih mudah memahami bagaimana nanti Tuhan mengadili manusia, ketika semua anggota tubuhnya bicara, sedangkan mulutnya terkunci (QS 36:65). Ruh-ruh orang yang telah mati, dianggap bisa berkelana ke mana-mana, mungkin mirip dengan citra-citra televisi, yang dikirim lewat udara. Di sisi lain, media juga bisa mendistorsi dan mereduksi agama. Dakwah menjadi komersial dan dangkal. Berbagai tayangan media seringkali tak mengindahkan nilai-nilai agama. Bahkan, media dapat menjadi berhala, ketika manusia kecanduan padanya.
Selain itu, ada perbedaan yang sangat mendasar antara Sufisme dan ilmu sosial. Sufisme, melihat realitas empiris sebagai wujud yang berada di bawah wujud spiritual, sementara Ilmu sosial hanya menangkap realitas empiris saja, meskipun yang dikaji adalah mimpi dan imajinasi. Pemahaman yang dicari oleh ilmu sosial adalah pemahaman rasional, sementara yang dicari kaum Sufi adalah tahqîq. merealisasikan kebenaran di dalam jiwa melalui pengalaman batin. Bagi kaum Sufi, realitas sosial yang kompleks, hanya akan bisa dipahami jika dikembalikan kepada asalnya yang satu. Yang banyak di dalam yang satu, dan satu di dalam yang banyak (tawhîd). Sementara itu, ilmu sosial hanya memperhatikan yang banyak sehingga jika orang tak hati-hati, dia bisa jatuh pada relativisme dan nihilisme (taktsîr).
Pada akhirnya, seperti telah ditegaskan di awal tulisan ini, mengkaji agama sama dengan mengkaji manusia. Manusia itu nyata sekaligus misteri. Manusia itu tubuh dan ruh, material dan spiritual. Orang bisa menemukan nilai moral dan spiritual yang tinggi dalam perilaku manusia beragama, tetapi bisa pula menemukan ambisi manusia akan kekayaan, ketenaran dan kekuasaan yang berbaju agama. Meminjam teori Rudolf Otto, seperti halnya manusia, agama adalah mysterium, tremendum et fascinan, misterius, menakutkan sekaligus mempesona. Karena itu, para ilmuwan harus tetap rendah hati. Tutup Prof. Mujib.